SEJARAH GKE
Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) dimulai pada abad
ke-19 ketika di Eropa terjadi kebangkitan kesadaran untuk mengabarkan Injil ke
seluruh dunia. Abad ini dikenal sebagai “The Great Century” (Abad Agung)untuk
Pekabaran Injil (PI).
Pada tahun 1830-an tersiar kabar mengenai pulau Kalimantan
di tanah Jerman. Dalam cerita-cerita itu digambarkan mengenai ratusan ribu
orang Dayak masih tertinggal dalam peradaban: sering terjadi perang antar suku,
praktek pengayauan, masyarakatnya tidak mengenal pendidikan dan pelayanan
kesehatan. Orang-orang Dayak tersebut tinggal dalam “kegelapan”, karena
belum menerima Injil. Karena itu muncul kerinduan, kesadaran dan semangat
yang menggebu-begu di kalangan umat Kristen di Jerman untuk memberitakan Injil
ke Kalimantan.
1. Periode I, 1835 - 1920 (Periode Perintisan Oleh
Misionaris)
Kerinduan, kesadaran dan semangat itu selanjutnya diwujudkan
dengan diutusnya dua orang misionaris dari Rheinische Missionsgezelschaft
zu Barmen (RMG) untuk berangkat ke Kalimantan, yakni Barnstein dan Heyer.Mereka
berdua pertama-tama datang ke Batavia (Jakarta). Namun, Heyer walaupun dengan
penyesalan kemudian harus kembali ke Jerman karena sakit. Dan sesudah melalui perundingan
sekitar enam bulan dengan pemerintahHindia Belanda, dengan menumpang kapal
selama 44 hari, maka pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein untuk
pertama kalinya menginjakkan kakinya di Banjarmasin. Selanjutnya, enam bulan
kemudian datang lagi menyusul tiga Missionaris dari Jerman, yakni Becker,
Hupperts dan Krusmann. Dalam beberapa tahun kemudian berdatangan
lagi sejumlah missionaris lainnya dari Jerman untuk memberitakan Injil di
Kalimantan.
Pada tahap awal kedatangan Barnstein di Kalimantan, maka sesuai
dengan pemberitaan di jerman mengenai Kalimantan, yang pertama-tama dicarinya
adalah orang-orang Dayak. Karena itu selama beberapa bulan pertama ia
mengadakan sejumlah perjalanan ke pedalaman Kalimantan untuk menjajaki
kemungkinan bagi pelaksanaan pemberitaan Injil. Dalam perjalanan tersebut, di
Gohong (Kahayan Hilir KalimantanTengah), Barnstein mengadakan upacara“angkat
saudara dengan pertukaran darah” (Hangkat hampahari hatunding daha) dengan
Temanggung Ambo Nikodemus, Kepala Suku setempat. Sejak itu Barnstein
dianggap saudara oleh orang Dayak karena telah bertukar darah dengan kepala
suku Dayak.
Sesudah melalui sejumlah perjalanan awal itu, selanjutnya
Barnstein bersama dengan beberapa missionaris membuka stasi-stasi pangkalan PI)
di beberapa wilayah Kalimantan Tengah.
Dengan adanya stasi-stasi ini, mulailah diadakan usaha-usaha
di bidang pendidikan seperti pendirian sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan,
pemberitaan, perkunjungan dan percakapan langsung dengan orang-orang Dayak.
Dengan demikian, beberapa metode yang dipakai oleh para missionaries untuk
mencapai orang Dayak dengan Injil adalah : (1) memenangkan ikatan
persahabatan dan persaudaraan, (2) Pendekatan kepada golongan atasan/kepala
suku, (3) Perbaikan taraf hidup sosial ekonomi rakyat, (4) Pendidikan dan (5)
Pelayanan Kesehatan.
Dengan lambat sekali Injil mulai menyelusup dan merintis
jalannya sendiri ke celah-celah hati suku Dayak. Periode ini menuntut kesabaran
dan keuletan.
Periode pertama PI di Kalimantan mengalami cobaan berat
ketika terjadi pemberontakan Hidayat dari Kesultanan Banjarmasin 01 Mei 1859,
pemberontakan ini didukung oleh banyak tokoh masyarakat Dayak yang berhasil
dihasut. Tujuan pemberontakan adalah mengusir pemerintah Belanda dan semua
orang kulit putih dari bumi Kalimantan. Pemberontakan ini memakan korban baik
dari pihak pemerintah Belanda maupun para misionaris Jerman. Empat orang
missionaris, tiga orang isteri dan dua orang anak mereka mati dibunuh oleh
orang Dayak sendiri. Missionaris Roth, Wiegand dan isteri, Misionaris
Kind dan isteri beserta dua orang anak mereka mati dibunuh di
Tanggohan. Missionaris Hofmeister dan isteri di bunuh di Penda Alai. Sedangkan Missionaris
Klammer yang berada di Tamiang layang, yang dalam keputusasaan dan
ketakutan berhasil diselamatkan oleh para pemimpin Dayak Maanyan.
Sejak pemberontakan yang memakan korban orang-orang kulit
putih tersebut, Pemerintah Hindia Belanda melarang semua orang kulit putih
termasuk para missionaris untuk masuk ke pedalaman Kalimantan. Hasil Pekabaran
Injil yang sudah berlangsung 25 tahun itu musnah dihapus oleh kegagalan,
kekecewaan, air mata dan darah.
Baru beberapa tahun kemudian, sesudah pemberontakan Hidayat
dapat ditumpas (1866), Pemerintah Hindia Belanda mengijinkan para Missionaris
memulai kembali pekerjaan mereka di sekitar “benteng Belanda”. PI dimulai
kembali di berbagai kawasan termasuk pembukaan daerah baru. Tahun 1911,
tercatat 3.000 orang Dayak sudah dibabtis menjadi Kristen.
Pertobatan di kalangan suku Dayak memang sangat sukar dan
lambat. Ini berkaitan dengan kuatnya ikatan orang Dayak terhadap adat dan
agama sukunya, termasuk karena keharusan bagi Orang Dayak yang hendak
menjadi Kristen untuk meninggalkan kebudayaan Dayaknya oleh para missionaris.
Awal abad XX ditandai oleh tragedi dunia dengan pecahnya
Perang Dunia I di Eropa. Salah satu akibat nyata yang dialami oleh Badan
Zending RMG akibat Perang Dunia I tersebut adalah kesulitan keuangan yang
parah. Badan ini tidak mampu lagi membiayai pelaksanaan PI baik di Kalimantan
maupun Sumatera. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan kerinduan sebuah
Badan Zending di Basel, Swiss yang bernama Basler Misssionsgezellschaft,
(BM) maka pada tahun 1920 disepakati bahwa BM mengambil alih pelaksanaan
PI di Kalimantan. Sedangkan gambaran hasil PI di Kalimantan pada waktu itu
adalah : jumlah orang Kristen 5.000 orang, 14 Pemberita, 39 Penatua, 14
missionaris dan isteri mereka, 11 stasi (pangkalan induk). Langkah-langkah BM
adalah menempatkan empat missionaris mereka di pangkalan induk, yakni
missionaris Henking di Banjarmasin, Weiler di Tamiang Layang, Kuhnle di
Mengkatip, dan Huber di Puruk Cahu.
2. Periode II, 1920 - 1935 (Periode Peralihan Zending)
Mengawali tugasnya di Kalimantan, BM melakukan tugas PI
dengan mengandalkan missionaris-missionaris yang datang dari Jerman dan
kemudian Swiss. Belum banyak orang Dayak yang dilibatkan dalam berbagai
kegiatan PI. Namun, BM memang berminat untuk mendirikan gereja suku. Oleh sebab
itu usaha pertama yang dilakukan adalah meneruskan apa yang sudah dirintis oleh
RMG, yakni melakukan pelayanan kesehatan, pendidikan, menghidupkan jemaat dan
mempersatukannya menjadi satu gereja yang akan berdiri sendiri. Dalan rangka
itu dilihat pentingnya melibatkan orang-orang Dayak dalam pelaksanaan PI
dan pembinaan jemaat di Kalimantan. Konsolidasi stasi-stasi mulai dilakukan dan
dikembangkan menjadi satu lembaga persekutuan orang-orang Kristen yang kemudian
akan menjadi jemaat.
Peraturan Gereja untuk orang-orang Kristen di Kalimantan
mulai disusun, sejumlah persidangan gerejawi pun dilaksanakan, seperti :
diterimanya Peraturan Sidang Jemaat Kristen yang disahkan oleh RMG pada tahun
1912 menjadi dasar hidup berjemaat, pertemuan para missionaris dan sejumlah
utusan jemaat/stasi, yang dilaksanakan di Banjarmasin, 03 – 04 Maret 1925, Konferensi
Pekerja Zending tahun 1926, 1928 dan 1930. Selanjutnya Sinode Mandomai tahun
1930 memutuskan menerima secara resmi Peraturan Sidang Jemaat Kristen di Borneo
Selatan yang sudah diperbarui sebelumnya (1925) dan dipilihnya anggota Majelis
Sinode (Synodale Commissie) pertama dengan keanggotaan :
Ketua : Pdt. K. Epple (Zending BM)
Wakil Ketua : August Narang
Anggota : Pdt.C. Weiler (Zending), M. Lampe,
E.Tahanan, A Kiting dan A. blantan.
Anggota Kehormatan : F. Dingang
Sejak tahun 1930, dilakukan persiapan untuk membentuk
jemaat-jemaat yang tersebar di Kalimantan hasil PI RMG dan BM ke dalam
satu wadah lembaga Gereja. Dalam rangka persiapan itu pada tahun 1932
didirikan Sekolah Teologia di Banjarmasin. Usaha memperkuat peran orang Dayak
pun dilakukan dengan serius oleh pihak Zending BM dan pada tahun 1935 adalah
tahun yang paling bersejarah dengan berdirinya Gereja Dayak Evangelis (GDE)
secara mandiri.
3. Periode III, 1935 - 1945 (Periode Lahirnya Gereja Dayak)
Proklamasi berdirinya Gereja Dayak Evangelis dilaksanakan
pada persidangan Sinode Umum di Kuala kapuas yang berlangsung
sejak tanggal 2-6 April 1935. Persidangan tersebut dihadiri oleh 30 orang
Kristen Dayak dan 8 orang Penginjil Zending. Dalam persidangan tersebut, pada
tanggal 4 April 1935 pukul 12 siang disahkan secara resmi Peraturan Gereja
I Gereja Dayak Evangelis. Inilah tanggal yang dinyatakan sebagai
berdirinya Gereja Dayak Evangelis disingkat GDE sebagai Gereja
yang berdiri sendiri.Kemudian pada tanggal 5 April 1935, bersamaan dengan
perayaan genap 100 tahun (SEABAD) pekabaran Injil di Kalimantan, maka kelima
pemuda lulusan Sekolah Theologia Banjarmasin yang dianggap memiliki potensi
besar telah ditahbiskan di gedung Gereja Hampatung (Kuala Kapuas), sebagai Pendeta-pendeta
pertama dari Gereja Dayak Evangelis (GDE). Pengutusan, Berkat dan Pentahbisan
Suci 5 (lima) “Pendeta Dayak” pertama yang dilakukan Zending Basel oleh
Inspektur Sir H. Witschi. Pada tanggal 5 April 1935, sebagai berikut :
1. Pdt. RUDOLF KITING, ditempatkan di Rungan dengan kedudukan di Tumbang Bunut.
2. Pdt. EDUARD DOHONG, ditempatkan di Miri dengan kedudukan di Tumbang Sian.
3. Pdt. GERSON AKAR, ditempatkan di Hulu Kapuas dengan kedudukan di Sungai Hanyu.
4. Pdt. HERNALD DINGANG PATIANOM, ditempatkan di Sungai Tiwei dengan kedudukan di Benangin.
5. Pdt. MARDONIUS BLANTAN, ditempatkan di Dusun Timur dengan kedudukan di Tewah Puluh.
Daerah-daerah tempat ke – 5 pendeta pertama itu ditempatkan adalah merupakan daerah-daerah front pekabaran injil. Dari sini sudah tampak karakter Gereja Dayak dengan segala pekerjaannya, selaku gereja yang mengabarkan Injil sesuai dengan nama Gereja tersebut yaitu “Evangelis”.
Patut pula dicatat dalam sejarah gereja ini, bahwa kelima Pendeta pertama ini adalah tokoh-tokoh Pionir dan pesuruh-pesuruh Injil yang penuh daya gerak diantara orang sebangsanya dan mereka inilah yang merupakan orang-orang pertama PEKERJA NASIONAL GEREJA dan bukan pekerja suatu lembaga atau badan Zending dari luar negeri.
Penguatan Peran Orang Dayak Kristen dalam mengelola GDE
semakin dimatangkan. Pada tahun 1937 diadakan Konferensi Pengerja Zending yang
menegaskan: “Badan Zending patutlah semakin berkurang, dan gereja Dayak makin
bertambah. Hendaklah kita semakin mengundurkan diri sampai pada pelayanan
persaudaraan dan nasihat”.
Pada tahun 1939, keadaan GDE yang dapat dicatat adalah
sebagai berikut : Jumlah anggota 15.000, tenaga pengerja Dayak (pribumi) 235,
terdiri dari 16 pendeta – 33 pemberita Injil - 158 guru – 26 pembantu perawat –
1 kolportir – 1 dokter diperbantukan. Pengerja Zending 40 tenaga, terdiri dari
14 missioner, 3 dokter, 4 suster, 2 guru, 1 administratur (dengan keluarga
masing-masing).
Gereja yang masih sangat muda ini kembali mendapat ujian
berat seiring dengan terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1940-an.
Kengerian yang pernah terjadi pada masa PD I kembali terulang dengan intensitas
yang lebih besar. Para Missionaris dan keluarga yang berasal dari Jerman dan
Swiss ada yang ditawan dan diangkut ke Jawa untuk selanjutnya dipulangkan.
Dalam penawanan dan pembuangan sejumlah missionaris dan keluarga tersebut,
ketika diangkut untuk dibuang ke kamp Interniran di India, kapal yang
mereka tumpangi karam dan menewaskan semua penumpang termasuk para missionaris
dan keluarga mereka.
GDE dengan beberapa pendeta Swiss dan Belanda yang masih ada
di Kalimantan ditambah beberapa pendeta Dayak sendiri harus berjuang
mempertahankan hidupnya dengan berbagai kekurangan dan kesulitan akibat
penguasaan tentara Jepang.
Awal bulan Pebruari 1942, merupakan awal habisnya para
pengerja yang berasal dari Badan Zending di Eropa dan hancurnya sejumlah sarana
yang didirikan Zending oleh tentara Jepang. Hubungan dengan Zending di Eropa
putus sama sekali. Pada masa pendudukan Jepang inilah GDE yang masih muda harus
benar-benar mampu berdiri berdasarkan kekuatan sendiri. Pada masa ini pula
datang sejumlah Pendeta dari Jepang, seperti: Pdt. Shirato, Pdt. S. Honda,
Pdt. K. Kaneda, dan Pdt. Suzuki. Dengan bantuan beberapa pendeta Jepang
ini GDE terus berbenah diri. Melalui sejumlah konferensi, GDE semakin
memantapkan organisasi dan kehadiran-nya sebagai Gereja Tuhan di Kalimantan.
Dan ini terus berlangsung sampai Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Pada
akhir tahun 1944 terdapat jumlah anggota GDE sebanyak16.671 orang.
4. Periode IV, 1945 – 1960 (Periode Perubahan Nama GDE)
Sejak tahun 1945, GDE mulai membangun wajah baru dengan
kehadirannya yang semakin kokoh di bumi Kalimantan. Pada saat yang sama,
seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan semangat keesaan gereja, GDE semakin
terlibat di dalam kegiatan oikumenis Gereja-Gereja di Indonesia. Hal ini
selanjutnya ditunjukkan dengan kesadaran bahwa orang-orang yang bisa menjadi
anggota gereja ini bukan hanya orang Dayak, melainkan semua orang dari berbagai
suku bangsa yang ada di Kalimantan.
Atas dasar kesadaran oikumenis itulah, maka pada Sinode
Umum GDE ke-5 Di Banjarmasin pada tahun 1950, seiring dengan masuknya GDE
menjadi anggota Dewan gereja-Gereja Di Indonesia (DGI), nama Gereja Dayak
Evangelis (GDE) diganti menjadi “GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS”
(GKE). Gereja ini tidak lagi membatasi diri sebagai gereja sukutetapi
gereja yang terbuka untuk semua orang yang ada di Kalimantan.
Mulai pada Tahun 1960 GKE memperluas wilayah pelayanannya ke
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Dengan demikian sejak itu kawasan
pelayanan GKE meliputi seluruh wilayah Kalimantan.
Tantangan yang harus dihadapi GKE adalah perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berlangsung secara cepat dan berubah-ubah. GKE perlu benar-benar hadir sebagai alat kesaksian di bumi Kalimantan bersama-sama dengan semua umat beragama lainnya dari semua suku bangsa yang ada. GKE-pun terus dipanggil dan ditantang untuk semakin eksis dalam membawa syalom Allah di bumi Kalimantan sampai Ia mengenapkan rencana-Nya secara sempurna.
Tantangan yang harus dihadapi GKE adalah perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berlangsung secara cepat dan berubah-ubah. GKE perlu benar-benar hadir sebagai alat kesaksian di bumi Kalimantan bersama-sama dengan semua umat beragama lainnya dari semua suku bangsa yang ada. GKE-pun terus dipanggil dan ditantang untuk semakin eksis dalam membawa syalom Allah di bumi Kalimantan sampai Ia mengenapkan rencana-Nya secara sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar